Berapa putaran cahaya fajar-senja-hingga malam yang tenang takku ceritakan hari-hari ku bersamamu. Entah karena memang kau tak menyapaku, atau justru aku yang egois enggan mengabarimu. Nahh lohh...
Sepertinya keduanya benar, tapi itu hanya sepertinya. Kau taulah sepertinya itu seperti apa. Ntah seperti angin malam yang dingin, atau justru seperti hujan yang tak tersampaikan pada tanah. Kering, tandus tak berhumus.
Engkau yang selalu kugambarkan dengan kata-kata, engkau yang kususun rapi dalam bait-bait, engkau juga yang selalu kuceritakan dalam sajak-sajak, kini entah kemana perginya. Apakah burung-burung itu tega membawaku terbang keluar angkasa, lalu diturunkannya di tengah-tengah ketinggian dan terjatuh ketepian? Atau kamu yang dibawa lari oleh pasukan ber-kuda dan aku dibiarkannya tertinggal hingga menjadi pedang tak bertuan?
Lagi-lagi kujawab ntahlah. Engkau yang bermuara dalam ruang kedap suara, tak mungkin kubiarkan pergi begitu saja. Dirawatnya dirimu dalam setiap hari yang kujalani. Baik disaat matahari tepat di atas kepala, ataupun langit malam yang setia menjaga tanpa tertidur menina bobokan manusia.
Jawabanku tetap ntahlah. Kalo boleh aku membawa prakata pa Sujiwo sebagai pembela, aku akan mengutip "puncak kerinduan adalah ketika aku dan kamu tanpa saling WA, tanpa saling tegur sapa, juga tanpa menitipkan kabar pada hembus angin yang keluar disaat kau buka jendela pertama kali di pagi hari," itu sepertinya lumayan cocok mewakili perasaan ku, sekalipun kugubah sedikit kalimatnya.
Sengaja aku tidak menceritakannya beberapa minggu ini, karena sebenarnya aku tak ingin mengabarkan kabar duka selain kebingungan-kebingungan semata. Aku rasa ini kabar duka. Tepatnya pantas tuliasan ini menyandang predikat seperti itu.
Hhuufftt... seumpama kamu membaca tulisan ini seperti yang kuharapkan, aku hanya berpesan, jagalah dirimu kasih, cintaku sudah menjalar jauh kedalam dasar tanah seperti akar-akar yang kokoh dan sulit dikeluarkan. Meskipun rindangnya daunku mudah ditiup topan, meskipun hujan deras terus mengguyur, meskipun musim semi datang kembali, yakinlah kasih, akarku kuat menopang semua itu selagi Tuhan membiarkanku hidup. Yakinlah.
Dan kasih, terima kasih kusampaikan. Kurasa itu juga pantas lagi-lagi kuberikan padamu. Sekalipun kau menghilang, tapi kisah tetap ku rangkai. Ya!. Kau tetap motivatorku, tetap kusajikan surat-surat yang ntah tersampaikan atau tidak.
Terima kasih telah memberi kisah. Percayalah, bahwa sumber segala kisah adalah kasih.
Komentar
Posting Komentar